Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KELUARGA BERENCANA

A. Pengertian Keluarga Berencana (KB) dan Alat Kontrasepsi
1. Pengertian Keluarga Berencana (KB)
Keluarga Berencana terdiri dari dua kata yaitu keluarga yang berarti rumah tangga, dan berencana yang berarti memiliki rencana. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah suatu usaha yang dilakukan oleh sebuah keluarga untuk mensejahterakan kehidupannya di antaranya dengan jalan mengatur jarak kelahiran atau jumlah anaknya.
Mahyuddin mendefinisikan KB dengan pengertian umum dari pengertian khusus. Menurut pengertian umum KB ialah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa, sehingga bagi ibu maupun bayinya dan bagi ayah serta keluarga atau masyarakat yang bersangkutan tidak akan tertimpa kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Sedangkan menurut pengertian khusus KB adalah suatu aktifitas dalam kehidupan sehari-hari yang berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan atau pencegahan pertemuan antara sperma dari laki-laki dan telur dari perempuan ketika terjadinya hubungan antara suami istri.
Menurut Masfuq Zuhdi, istilah KB di Indonesia mempunyai arti dan tujuan yang sama dengan istilah Family Planning atau Planned Parenthood bukan Birth Control. Menurutnya Family Planning atau Planned Parenthood, berarti pasangan suami istri telah mempunyai perencanaan yang konkrit mengenai kapan anaknya diharapkan lahir, agar setiap anak yang lahir disambut dengan rasa gembira dan syukur. Selain itu mereka juga merencanakan berapa jumlah anak yang diinginkan, karena disesuaikan dengan kemampuannya sendiri dan situasi kondisi masyarakat dan negaranya. Jadi yang ditekankan di sini adalah perencanaan, pengaturan, dan pertanggung jawaban orang tua terhadap anggota keluarganya. Berbeda dengan istilah Birth Control yang artinya pembatasan atau penghapusan kelahiran, Birth Control ini bisa mempunyai konotasi negatif karena di dalamnya mengandung arti kontrasepsi, sterilisasi, aborsi dan penundaan kawin sampai usia lanjut.
Menurut Masfuq Zuhdi tujuan Keluarga Berencana di Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga di sini berarti telah dapat terpenuhinya secara seimbang antara kebutuhan-kebutuhan spiritual (kerohanian dan keagamaan), kebutuhan fisik (perumahan dan sejenisnya), kebutuhan biologis (makan, minum, hubungan kelamin dan sebagainya), dan kebutuhan sosial (bermasyarakat, berorganisasi dan sebagainya) dari suatu keluarga.
Adapun cara untuk mencapai tujuan tersebut menurut Surya Indra adalah dengan cara:
a. Mencegah jumlah agar anak tidak terlalu banyak.
b. Merencanakan kelahiran anak menurut kehendak keluarga.
c. Menentukan jumlah anak yang mereka cita-citakan sesuai dengan kesehatan ibu dan kemampuan keluarga.
d. Merencanakan jarak waktu yang cukup panjang di antara kelahiran anak-anaknya.
Adapun faktor-faktor yang mendorong dilaksanakannya Keluarga Berencana di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Kepadatan penduduk.
b. Pendidikan.
c. kesehatan.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits yang dapat dijadikan dalil untuk membenarkan KB adalah sebagai berikut:
     •            
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Al-Luqman: 14)
   •           •

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”. (QS. Al-Ahqaf: 15)

2. Alat Kontrasepsi
Alat kontrasepsi dalam Bahasa Arab disebut Wasail Liman’i al-Haml adalah alat untuk mencegah atau mengatur terjadinya kehamilan.
Alat kontrasepsi ditinjau dari fungsinya dapat dibedakan dalam 3 macam yaitu:
a. Alat yang berfungsi melumpuhkan sperma.
b. Alat yang menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma.
c. Alat yang mencegah terjadinya ovulasi.
Sedangkan alat kontrasepsi ditinjau dari pemakainya, dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Alat kontrasepsi untuk wanita
1) Pantang berkala
2) Diafragma atau cap
3) Cream atau Jelly dan cairan berbusa
4) Tablet berbusa atau vagina tablet
5) Pil dan suntikan
6) IUD (Intra Uterine Device) atau yang dikenal dengan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), atau spiral.
7) Tubcktomi (sterilisasi untuk wanita)
8) Menstrual regulation atau induksi haid
9) Abortus
b. Alat kontrasepsi untuk pria
1) Senggama terputus (‘Azl atau cuitus interuptus)
2) Kondom
3) Vascktomi (sterilisasi untuk pria)

B. Pendapat Ulama Tentang Sterilisasi
Yang dimaksud dengan sterilisasi adalah suatu prosedur yang mengakibatkan hilangnya secara permanen atau sementara, kemampuan si lelaki untuk menghamilkan seorang wanita atau kemampuan si wanita untuk mengandung. Sterilisasi pada pria dilakukan melalui pemecahan atau pengikatan vas (saluran mani) dan disebut vasectomy. Pada wanita sterilisasi dilakukan dengan mengikat pembuluh atau saluran telur (fallopian tubes) yang terhubung ke rahim, yang secara normal mengambil ovum dari indung telur dan memungkinkan terjadinya proses pembuahan dalam rongganya.
Perlu ditekankan bahwa pembedahan sterilisasi dilakukan setiap hari di dunia Muslim untuk indikasi medis, dalam hal mana para ulama tidak menaruh keberatan, karena operasi itu merupakan metode pengobatan, dan pengobatan adalah sah dalam Islam.
Adapun perbedaan pendapat mengenai diizinkan atau tidaknya apabila sterilisasi digunakan sebagai metode kontrasepsi bagi suami atau istri, yaitu sebagai berikut:
1. Mufti Besar Mesir, Syekh Jadil Haq (Maret 1980), memberikan pendapat bahwa sterilisasi tidak diizinkan apabila menyebabkan hilangnya kesuburan secara permanen, baik melalui pembedahan ataupun melalui obat-obatan. Sterilisasi boleh digunakan apabila telah diketahui secara meyakinkan bahwa suatu penyakit menurun mungkin tersalur kepada anak atau menyebabkan sakit. Dalam hal demikian sterilisasi menjadi wajib. Pembolehan ini didasarkan pada prinsip juristik yang mengizinkan kemudaratan untuk mengelakkan kemudaratan yang lebih besar.
2. Syekh Syalthut berpandangan serupa tentang tidak diizinkannya sterilisasi permanen, kecuali untuk alasan-alasan serius menyangkut penyakit keturunan atau yang mungkin menular.
3. Dr. Madkur juga menentang dan mengutip juris madzhab Syafi’i, al-Bijurmi, yang mengatakan, “Dilarang menggunakan cara apapun yang menyebabkan hilangnya kapasitas alami untuk berkembang biak.
4. Dewan Tinggi Penelitian menetapkan di tahun 1965 bahwa penggunaan sarana yang menjurus kepada kemandulan adalah terlarang. Larangan yang sama dikeluarkan oleh Dewan Fiqih di Saudi Arabia.

C. Pendapat Ulama Tentang Abortus
Pembahasan tentang Abortus tidak dapat dipisahkan dari dua istilah yaitu, Menstrual Regulation dan Abortus. Menstrual Regulation secara harfiyah artinya adalah pengaturan menstruasi. Menstrual Regulation pada hakikatnya adalah jenis Abortus Provocatus Criminalis sekalipun dilakukan oleh dokter. Karena itu Menstrual Regulation pada hakikatnya adalah pembunuhan janin secara terselubung. Adapun yang dimaksud dengan abortus adalah pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya atau sebelum bayi itu dapat lahir secara alamiah.


Abortus (pengguguran) ada dua macam, yaitu:
1. Abortus spontan (spontaneous abortus), ialah yang tidak disengaja.
2. Abortus yang tidak disengaja (abortus provocatus/ induced pro abortion). Dan abortus ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Abortus artificialis theraficus, yakni abortus yang dilakukan oleh dokter atas indikasi medis.
b. Abortus provocatus criminalis, yakni abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis.
Para ahli fiqh sepakat bahwa pengguguran kandungan yang telah berusia empat bulan (120 hari) haram hukumnya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal pengguguran kandungan yang kurang dari empat bulan itu. Para ahli fiqh dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa pengguguran kandungan yang belum berusia empat bulan dibolehkan. Karena sebelum Usia tersebut janin belum mempunyai ruh. Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang memgharamkan, Al-Ghazali termasuk ulama Syafi’iyah yang mengharamkannya.

D. Hukum IUD yang Dibawa Mati
IUD adalah singkatan dari Intra-Uterine Device, yang sering dialih bahasakan menjadi Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR). IUD adalah alat yang dipasang pada dinding rahim wanita untuk menghalangi sperma dengan ovum. Oleh karena Alat Kontrasepsi ini dipasang dalam rahim wanita maka pemasangannya seharusnya dilakukan oleh dokter atau juru rawat wanita. Alasannya, karena pada dasarnya laki-laki tidak dibenarkan melihat aurat wanita yang bukan mahramnya, apalagi melihat kemaluan wanita, kecuali dalam keadaan yang memaksa.
Sekarang persoalannya adalah bagaimana jika seorang akseptor IUD meninggal dunia, sementara IUD nya masih terdapat di rahimnya, apakah wajib dicabut atau tidak menurut hukum Islam?. Di dalam al-Qur’an dan hadits yang merupakan sumber pokok hukum Islam dan yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam tidak ada nash yang sharih yang mengatur tentang hal tersebut secara eksplisit. Oleh karena itu menurut penulis hukum dicabut atau tidaknya IUD dari seorang wanita akseptor IUD yang sudah meninggal harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam atau kaidah fiqhiyah yang menyatakan:
“Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”
“Menolak mafsadah harus didahulukan dari memperoleh manfaat.”
“Manakala berhadapan dua macam mafsadah, maka yang dipertahankan adalah yang lebih besar resikonya, sedangkan yang lebih ringan resikonya dikorbankan.”
Berdasarkan kaidah-kaidah fiqhiyah di atas, penulis berpendapat bahwa mencabut atau mengeluarkan IUD dari rahim akseptor KB yang sudah meninggal, jauh lebih banyak menimbulkan mafsadah daripada mashlahahnya.
Sementara itu, Hendi Suhendi berpendapat, bahwa dicabut atau tidaknya IUD dari akseptor KB yang sudah meninggal dunia, sangat tergantung kepada keperluannya. Jika Alat Kontrasepsi atau IUD itu masih diragukan kesuciannya maka wajib dicabut, sebab ketika menghadap Tuhan, mayat harus dalam kondisi bersih dan suci. Pencabutan ini harus dilakukan oleh yang berkompeten seperti dokter atau bidan. Namun jikalau kesucian IUD itu sudah diyakini, maka menurut pendapat Hendi Suhendi tidak perlu dicabut.


DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, S. Ahmad Abdullah, Islam dan KB, Jakarta: Lentera, 1997
Djamil, Fathurrahman, Methode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995
Ghazaly, Abd. Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: 2008
Indra, Surya, Liku-Liku Seks dan Keluarga Berencana, Surabaya: Karya Indra, 1980
Mahyuddin, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 1998
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2005
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, Membina Keluarga Sejahtera, Yogyakarta: Persatuan
Zuhdi, Masfuq, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV H Mas Agung, 1988
Zuhdi, Masfuq, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1976

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar