a. Pengertian Qiyas
Secara bahasa (Arab) qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Misalnya قست الثوب بالنراع yang berarti "saya mengukur baju dengan hasta.
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Di antaranya dikemukakan Sadr al-Syari'ah (w. 747 H/1346 M, tokoh ushul fiqh Hanafi). Menurutnya, qiyas adalah:
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan 'illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan Wat ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hu¬kum yang ditentukan oleh nash tersebut.
b. Kehujjahannya
Pada dasarnya di dalam menanggapi soal qiyas ini ada dua pendapatulama:
1. Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa qiyas adalah hujjah syara'.
2. Madzhab Nidhomiyah, Dhohiriyah dan Syi'ah Imamiyah yang menolak qiyas sebagai cara untuk menetapkan hukum termasuk juga sebagian mu' tazilah.
Adapun alasan-alasan jumhur antara lain adalah:
1. Ayat al-Qur'an yang menyatakan sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (al-Nisa: 59).
Kata-kata farudduhu (فَرُدُّوه) berarti mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, hal ini meliputi pengem-balian kepada kaidah-kaidah syara' yang umum dan me¬ngembalikan hal-hal yang tidak dinashkan kepada yang dinashkan karena ada persamaan illatnya. Dan ini berarti menggunakan qiyas.
Dalam surat Yaasin ada ayat sebagai berikut:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ. قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ.
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, (Yaasin: 78-79).
Di sini pun ada qiyas yaitu meng-qiyas-kan kehidupan kembali sesudah mati kepada kehidupan pada permulaan. Jadi siapa yang berkuasa untuk menghidupkan pada per¬tama kali maka berkuasa pula menghidupkan sesudah mati.
2. Banyak sunnah yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW. menggunakan qiyas diantaranya:
كنت نهيتكم عن إدخار لحوم الأضاحى لاجل الدافة فكلوا وأدخروا وتصدقوا
Dulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena banyak orang berkumpul. Maka sekarang boleh makan, menyimpan, dan menyedekahkannya (Hadits Riwayat Al-Nasa'iy).
Jadi bila banyak orang yang berkumpul yang membutuhkan daging kurban dilarang menyimpan daging kurban apabila tidak ada orang berkumpul boleh menyimpan. Dengan demikian hukum ada apabila ada illatnya dan hukum tidak ada dalam arti mubah apabila tidak ada illat¬nya. Di dalam kaidah terkenal:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
"Hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya illat".
3. Para sahabat pun mempergunakan qiyas ini seperti Abu Bakar mengqiyaskan kakek dengan bapak di dalam warisan, juga Umar memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy'ari.
أعرف الأشباه والنظائر ثم قس الأمور عند ذلك
"Pelajarilah perkara-perkara yang ada persamaan dan perserupaannya, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara tersebut".
Sebagian sahabat membaiat Abu Bakar karena beliau pernah menjadi Imam shalat pada waktu Nabi sakit, jadi mengqiyaskan khilafah sebagai Imam kepada Imam Shalat. Ali bin Abi Thalib mengqiyaskan sanksi bagi peminum-peminum yang memabukkan kepada sanksi menuduh zina
إنه إذا شرب هذى وإذا هذى قدف
Sesungguhnya manusia itu apabila minum-minuman keras, ia akan mengigau dan apabila dia mengigau dia akan menuduh (melakukan qodzaf)".
Dari Ali berkata:
يعرف الحق بالمقايسة عند ذوى الألباب
"Kebenaran itu bisa diketahui dengan cara meng-qiyas-kan, bagi orang-orang yang mempunyai pengetahuan".
4. Qiyas bisa dibuktikan dengan dalil akal pula:
Pertama, Allah SWT. memberikan hukum demi untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila ada persamaan antara kasus yang tidak di-nash-kan dengan yang di-nosh-kan di dalam illat hukumnya, maka adalah adil dan bijak-sana untuk mempersamakan hukumnya dalam rangka melaksanakan kemaslahatan tadi. Adalah tidak pada tempatnya apabila khamr dilarang ka¬rena memabukkan dalam rangka memelihara akal dan mi-num-minuman lain yang memabukkan dibolehkan karena tidak dinoshkan, padahal kedua-duanya sama memabuk¬kan dan menyebabkan tidak terpeliharanya akal.
Kedua, Nash al-Qur'an dan al-Sunnah jumlahnya terba-tas, sedangkan peristiwa dan perkembangan manusia terus terjadi, maka untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak di-nash-kan, penggunaan qiyas sangatlah dibutuhkan asal pemecahan tersebut masih di dalam ruang lingkup syari'at menuju kemaslahatan manusia.
Qiyas pada hakikatnya tidak lain adalah pelaksanaan nash-nash di dalam ruang lingkupnya yang luas, bukan menambah nash tapi menafsirkan nash.
c. Hakikat Qiyas
1. Ada dua kasus yang mampunyai ‘illat yang sama.
2. Kasus yang lama sudah ada hukumnya berdasarkan nash, sedangkan hukum yang baru belum ada nashnya.
3. Antara hukum yang lama dengan hukum yang baru kedua-duanya memiliki sebab yang sama.
d. Unsur-unsur / Rukun-rukun Qiyas.
Sesuatu masalah dapat diqiaskan apabila memenuhi empat rukun yaitu:
1. Asal : Yaitu dasar titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (Musyabbab bih).
2. Furu': Suatu masalah yang akan diqiaskan disamakan dengan asal tadi, disebut Musyabbab.
3. Illat : Suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu, dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiaskan masalah yang kedua (furu') kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikonfonnasikan antara asal dengan furu1.
4. Hukum : yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu', bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.
Contoh:
No. Asal Furu’ Illat Hukum
1. Khamar Wisky Memabukkan Haram
2. Gandum Padi Mengenyangi Wajib zakat
3. dan lain-lain
e. Syarat-Syarat Qiyas.
Untuk dapat melakukan qias terhadap sesuatu masalah yang belum ada ketentuan dalam Al Qur'an dan Hadist, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hendaklah hukum asalnya tidak berobah-robah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
2. Asal seita hukum sudah ada ketentuannya menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al Qur'an dan Hadist
3. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qias, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qias.
4. Tidak boleh hukum furu' (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada 'illatnya (sebab).
5. Hendaklah sama Illat yang ada pada furu' dengan illat yang ada pada asal.
6. Hukum yang ada pada furu' hendaklah sama dengan hukum yang ada pada asal. Artinya tidak boleh hukum furu' menyalahi hukum asal.
7. Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
8. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi Kitab dan Sunnah.
f. Macam-Macam Qiyas.
1. Qiyas Aula: yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu' lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan Illat pada furu'.
Umpamanya mengiyaskan keharaman memukul orang tua diqiyas-kan kepada ucapan "ah” (berkata kasar) terhadap orang tua dengan 'illat "menyakiti. Hal itu ditegaskan Allah dalam surat al-Isra (17):23:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا.
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
Keharaman pada perbuatan "memukul" lebih kuat dari pada keharam-an pada ucapan "ah”, karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "ah”.
2. Qiyas Musaway : Yaitu illat yang terdapat pada yang di qiaskan (furu’) sama dengan illat yang ada pada tempat mengqias¬kan (asal) karena itu hukum keduanya sama. Seperti mengqiaskan membakar harta anak yatim dengan memakan, karena illatnya sama-sama menghabiskan (melenyapkan).
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (Surat An Nisa': 10).
3. Qias Dalalah: Yaitu illat yang ada pada qias menjadi dalil (alasan) bagi hukum, tetapi tidakmewajibkan baginya (furu') seperti mengqiaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiaskan pada hajji tidak diwajibkan pada anak-anak.
4. Qiyas Syabah, yaitu menjadikan yang diqiaskan (furu’) dikembalikan kepada antara asal yang lebih banyak persamaan antara keduanya, seped mengqiaskan budak dengan orang merdeka, karena sama-sama manusia, kemudian budak dapat pula disamakan dengan harta benda, karena harta benda itu lebih banyak persamaannya dari pada manusia yang merdeka, karena budak dapat dijual, diwariskan, diwaqafkan, dan menjadi jaminan dalam suatu urusan. Jadi disini furu’ (budak) dapat dikembalikan kepada asal yaitu :
• Manusia merdeka.
• Harta kekayaan, tetapi lebih banyak persamaannya dengan harta benda.
5. Qiyas Adwan, yaitu yang diqiaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat mengqiaskan, seperti mengqiaskan memakai perak bagi laki-laki kepada memakai emas, menurut seba-hagian pendapat ulama hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA
Bin Khalil, Atha’, Ushul Fiqh (Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis), Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Djazuli, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997
Ramayulis, Usul Fiqh, Jakarta, Kalam Mulia, 1989
Shidik, Safiudin, ushul Fiqh
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)
Syarifuddin, Amir, Usul Fiqh Jilid I, Jakarta, PT Logos Wacana Ilmu, 1997
QIYAS
02.58 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar